“Ayah…ini selad kesukaanmu. Aku sudah makan tadi. Habiskan saja,” kata istriku saat pulang kantor. Tak perlu pakai lama, hidangan khas itu langsung tumpah ruah di piring. Kuah lumernya membuat lidah jadi ingin bergoyang lebih lama. Saat kuah terakhirnya memenuhi sendok, istriku datang. “Ups, coba enak gak?” katanya. Aku pun membiarkan kuah itu dituntaskannya. Sambil menggerakkan jempol tangannya. Ia pun berujar, “Enak banget. Beda dari yang lainnya”
Begitulah. Cerita awal yang membuka kisah ini. Menu itu adalah sedekah dari teman kantor istriku yang sudah hampir satu tahun pindah tugas. ”Kalau beli di sana aja, harganya lebih murah dan enak” kata teman istriku. Ketika ada yang sedang tugas luar dan dekat dengan tempat yang disebutkan tadi. Pesanan untuk teman kantor selalu tak terlewatkan. Semua lidah sepakat untuk mengatakan hal yang sama.
Begitulah. Cerita awal yang membuka kisah ini. Menu itu adalah sedekah dari teman kantor istriku yang sudah hampir satu tahun pindah tugas. ”Kalau beli di sana aja, harganya lebih murah dan enak” kata teman istriku. Ketika ada yang sedang tugas luar dan dekat dengan tempat yang disebutkan tadi. Pesanan untuk teman kantor selalu tak terlewatkan. Semua lidah sepakat untuk mengatakan hal yang sama.
Rasa penasaran membuat kami ingin berkunjung ke sana. Saat ada waktu luang kami pun berangkat mengajak si kecil. Sekalian piknik. Pasti akan tambah nikmat ketika disantap di lokasi ketika perut dalam keadaan lapar. Singkatnya, kami tiba di lokasi tersebut. Ternyata benar, pengunjungnya luar biasa banyak. Menandakan jika rasa tak pernah berbohong hingga lokasinya penuh. Karena kondisi yang tidak memungkinkan itu, kami meminta untuk dibungkuskan saja. Dengan sabar istri mengantri diantara para pengunjung. Rasa lapar membuatku tak sabar untuk segera mendapatkannya. Akhirnya, tiba giliran pembeli yang ada di depan istriku dilayani. Terdengar ia minta menu istimewa. Ucapan lugas itu membuat kami terperangah. ”Pakai daging Babi ya, Bu?” Kami hanya saling pandang. Rasanya tak percaya. Aku lalu memberi isyarat. Langkah mundur. Pulang. Meski penjualnya sempat berkata, ”Ini dipisah kok, Mbak tempatnya.” Tak ada ucapan balasan yang bisa kami berikan selain senyuman tertahan dengan bibir tergigit. Beberapa pengunjung melihatnya, namun tak ada yang berkomentar. Hanya ada tatapan aneh yang menggantungkan tanda tanya. ”Sampeyan muslim?” Merinding rasanya jika tahu akan seperti ini keadaannya. Bagaimana bisa lokasi ini menyediakan menu demikian yang terbuka untuk umum. Bagaimana jika saudaraku yang lain tidak tahu? Benar jika masakan itu terpisah, namun bagaimana pengaturan alat-alat untuk memasak? Lalu perkakas yang gunakan para pembeli untuk makan dan minum apa ada jaminan tidak tertukar? Dan bagaimana mencucinya? Sungguh hal yang subhat!
Rasanya mau muntah jika ingat ketika menyantap menu tersebut beberapa waktu yang lalu. Terimakasih, Ya Allah. Berkat lindungan-Mu kami selamat dari makanan yang belum jelas kehalalannya. Cara-Mu menegur sungguh santun hingga membuatku yakin akan penjagaan-Mu, lewat ucapan orang yang tak kukenal. Seandainya tidak, mungkin makanan itu akan tetap menjadi menu istimewa.
Karena apapun yang dimakan akan berpengaruh besar pada akhlak kita. Sedapatnya rasa hati-hati ini harus selalu tersemat di hati agar setiap makanan yaang masuk ke dalam mulut benar-benar terjamin kehalalannya. Sesuap makanan kelak akan menentukan layaknya tidaknya kita ini mendapatkan surga-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar