Suatu malam, seorang teman mengirim pesan pendek pada saya yang sedang asyik bercengkrama dengan keyboard dan
layar komputer. Dalam pesan pendeknya, ia menulis kata-kata yang
tiba-tiba mampu menghentikan aktivitas saya dalam sejenak. Ia tak
bertanya tentang PR-PR organisasi yang selama ini jadi menu sehari-hari
kami. Ia pun tak bertanya tentang kabar kuliah atau kegiatan menulis
saya. Ia hanya mengirim saya kata-kata ini.
"Cinta
itu begitu luar biasa ya, mampu membuat kita tergugu dengan berjuta
harap juga rindu, bahkan merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang
kita cintai. Hingga wujudnya sudah mencipta resah, cemas, juga
doa-doa."
Lama saya tak membalas pesan pendeknya.
Bukan karena malas, tapi saya harus mencermati setiap kata yang ia
tuliskan di layar kecil itu. Adakah ia serius atau hanya ingin ‘perang'
kata-kata dengan saya. Dan setelah saya berpikir agak lama, saya
membalasnya. Hingga saya harus menghentikan aktivitas saya sejenak
karena setelah itu kami terus saling berbalas pesan pendek.
"Tapi,
cinta pun menyediakan air mata... Bagaimanapun, ketika kita terjebak
dalam sebuah rasa yang awalnya mungkin tak kita sadari, harusnya kita
bisa jadi lebih dewasa. Bagaimanapun -sekali lagi- cinta akan tetap
indah jika ia disembunyikan hingga hanya kita dan Allah saja yang
tahu."
"Cinta itu ibarat warna, jadi ketika kita
merasakan ada getar yang tak terdefinisi, itulah cinta. Hanya saja,
kita tak tahu cinta dengan warna apa dan seberapa kuat pendarnya
menerangi hati kita. Ada orang yang menyadari warna cinta dan kuatnya
pendar itu langsung ketika dekat dengan orang yang dicintai.ada juga
yang baru sadar ketika orang tercinta telah pergi."