Seperti biasanya, hari Ahad adalah hari mencuci “nasional” di kos saya. Di pagi buta, sekian baju di hangger telah berderet memenuhi tali jemuran. Sementara, saya baru merendam cucian sambil mengumpulkan sisa hangger yang masih nganggur dengan salah seorang adek kos. Tiba-tiba, hujan turun. Kami pun kalang-kabut menyelamatkan baju temen-teman yang telah dijemur. “Ya, belum sempat menjemur dah hujan. Kapan keringnya nih?” ujar adek kos mengeluh. Sempat terfikir membenarkan kata-katanya. Namun, segera kutepis pikiran tersebut. “Bagi Allah, urusan mengeringkan baju sangat mudah, Dek. Tenang saja,” ujarku menimpali.
Benar saja, tidak sampai bilangan jam, hujan telah reda dan sinar matahari begitu cerah. Kami pun segera menjemur kembali baju-baju yang ada. Hingga tengah hari, ternyata seragam-seragam kami telah kering. Hmm...jika kita yakin, Allah hanya perlu memerintahkan matahari bersinar sebentar saja untuk mengeringkan baju-baju kami. Maka tak pantaslah kita menyalahkan hujan. Allah tidak akan pernah salah dalam mengatur alam ini. Apapun itu. Termasuk saat terjadinya hujan.
Secara teori tentu kita sudah sangat paham, bahwa hujan mempunyai banyak manfaat. Dalam agama Islam, kita wajib meyakini bahwa hujan adalah rezeki yang Allah turunkan bagi manusia dan bumi seisinya. “Allah lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan buah-buahan sebagai rezeki untukmu.....”(QS. Ibrahim: 32). Tapi, ternyata dalam praktiknya jauh panggang dari api untuk bisa benar-benar memahami bahwa hujan adalah barakah.Benar saja, tidak sampai bilangan jam, hujan telah reda dan sinar matahari begitu cerah. Kami pun segera menjemur kembali baju-baju yang ada. Hingga tengah hari, ternyata seragam-seragam kami telah kering. Hmm...jika kita yakin, Allah hanya perlu memerintahkan matahari bersinar sebentar saja untuk mengeringkan baju-baju kami. Maka tak pantaslah kita menyalahkan hujan. Allah tidak akan pernah salah dalam mengatur alam ini. Apapun itu. Termasuk saat terjadinya hujan.
Seharusnya, hujan tidak selalu harus menyisakan dongkol di hati. Karena mungkin kita tidak lagi seleluasa untuk mobile, terutama di luar rumah. Atau karena tidak keringnya cucian-cucian kita. Semua tergantung pada bagaimana kita memaknai dan menyikapi hujan beserta dampaknya.
Mungkin kita merasa tidak terlalu butuh guyuran hujan, karena air sumur kita masih mengalir lancar, lingkungan kita masih hijau dengan pepohonan dan kita bukanlah petani yang sedang menggarap sawah, justru seringkali kita merasa “sedikit” terganggu dengan kehadiran mereka. Terekspresi lewat seloroh-seloroh refleks seperti adek kos saya tadi, atau sekadar helaan nafas dan lintasan pikiran, bahwa hujan akan mengganggu aktivitas kita. Mungkin kita bisa belajar lebih berempati dalam memaknai hujan yang turun, dengan mengingat saudara-saudara kita yang menggantungkan kebutuhan sehari-hari dari air hujan. Atau para petani yang bekerja keras menanam padi, yang begitu berharap hujan menumbuhsuburkan tanaman mereka. Atau melihat betapa sumringahnya para penjual bakso, wedhang ronde, warung kopi dan sejenisnya yang semakin rame saat hujan turun. Hujan datang dengan membawa rezeki dari Rabb semesta alam.
Dengan ilmu yang kita miliki, kesadaran dan keyakinan yang telah kita bangun tentang hujan, sangat jelas bahwa hujan mempunyai sekian manfaat. Lebih banyak manfaatnya daripada mudhoratnya (perbuatan manusia sendiri). Hujan menjadi salah satu unsur penyeimbang berlakunya alam semesta, yang lagi-lagi untuk menunjang berlangsungnya kehidupan manusia. Jadi, jika kita mau kembali berfikir, maka kita akan sangat mudah menemukan bahwa apa pun kondisi dan akibat dari hujan, tetap saja hujan adalah barakah.
Wirastuti, Ponorogo
shubhanalloh :D
BalasHapus